Oleh Anis Matta
Di hadapannya, istrinya terduduk. Diam. Hening. Hanya tatapan mata yang saling bicara. Tekad memancar tegas setegas pekat hitam kedua bola matanya.
“Kini tiba giliranmu, istriku,” Umar bin Abdul Aziz membuka pembicaraan. “Perbaikan dan reformasi dinasti Bani Umayyah sudah kumulai dari diriku sendiri. Selanjutnya adalah giliranmu. Kemudian anak-anak. Kemudian keluarga besar istana. Sekarang kembalikan seluruh harta dan perhiasanmu ke kas negara.”
Istrinya langsung angkat kepala. “Tidak, Umar! Ini semua adalah pemberian ayahku, Abdul Malik Bin Marwan.”
Umar terdiam, sejenak. Lalu menjawab, “Tapi uang untuk membeli itu semua berasal dari kas negara, Fatimah!”
Dialog itu terus berlangsung, mendatar dan meninggi, antara setuju dan tidak setuju.
Beberapa saat Umar tertunduk. Terpekur. Tantangan itu ternyata ada di hadapannya kini. Dari orang terdekat dan paling ia cintai. Bisakah ia melanjutkan perjuangannya kalau hambatannya justru datang dari cinta?
Tidak! Tidak boleh! Ia harus terus melangkah maju di jalan terjal perbaikan pemerintahan.
Tiba-tiba Umar bangkit dan berkata, “Fatimah, sekarang aku sudah bertekad untuk tidak mundur. Dan kamu punya dua pilihan: kembalikan seluruh harta itu, atau jika tidak, hubungan kita berakhir di sini.”
Fatimah terhenyak. Kesadarannya seperti ditampar tangan kebenaran. Hanya sesaat kemudian Fatimah mendengarkan panggilan nuraninya. la memilih untuk terus bersama Umar.
Pada suatu masa dalam hidup kita, fisik kita berhenti menuntut hak-haknya, akal kita berhenti meminta penjelasan-penjelasan. Karena ada kebutuhan baru yang muncul begitu kita makin menua: kebutuhan akan transendensi spiritual karena tuntutan “tanah” tak lagi punya gravitasi yang kuat dalam tubuh kita.
Saat itu kesadaran akan fisik lenyap dan kehebatan akal menjadi terlalu sederhana untuk menjelaskan temuan-temuan ruh dalam kehidupan. Saat itu mata ruh kita mulai menembus tembok-tembok ruang dan waktu, melewati kesementaraan pada panggilan raga dan jiwa, dan memasuki gerbang keabadian ruh yang telah terbebaskan. Karena itu godaan raga dan jiwa pada Umar lenyap ketika ia harus memilih jalan ruhnya: tapi justru disitulah pesona keabadiannya menampakkan diri, dan seperti angin sepo iyang masuk lewat jendela bersama cahaya matahari, kebenaran itu merengkuh seluruh dirinya. Ada keagungan transendensi yang datang bersama kebenaran cinta. Itu mencerahkan. Itu menghidupkan.
Dalam transendensi itu tidak ada cantik atau jelek. Tidak ada seksi atau tidak seksi. Yang ada hanya kebenaran dan keabadian. Itu yang memberinya aura keagungan.
Setiap kali kamu melihat mereka yang memiliki pesona itu ingatanmu langsung kembali ke masa depan, melampaui semua yang kini dan di sini, masa di mana waktu tak lagi punya ujung. Maka pesona mereka membebaskanmu seperti buraq membawa Muhammad melewati atmosfir bumi dan menembus langit demi langit menuju singgasana Zat Yang Abadi. Dan begitu jugalah Muhammad saw mengakhiri konflik dengan istri-istrinya sembari mengatakan, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.”