Jumat, 26 Februari 2010






sepatu bordir yang ringan dan cantik. sangat sesuai untuk anda yang aktiv dan mobile. elastis dan nyaman di pakai.
Harga Rp. 50.000 ( untuk semua model)

Selasa, 16 Februari 2010



koleksi dari Salsa Kidz. busana anak dan remaja
Model 20 pink . untuk usia remaja. ukuran baju disesuaikan dengan kondisi berat dan tinggi badan, lebar bahu juga lebar badan.

terbuat dari bahan katun dengan kualitas export.




koleksi dari Salsa Kidz. busana anak dan remaja
Model 26. untuk usia remaja. ukuran baju disesuaikan dengan kondisi berat dan tinggi badan, lebar bahu juga lebar badan.

terbuat dari bahan katun dengan kualitas export.

harga Rp. 167.000

Serasa dan Serasi

Oleh Anis Matta

Tdak karena kamu memiliki semua pesona itu sekaligus, maka kamu bisa mencintai dan mengawini semua perempuan. Begitu juga sebaliknya.

Pesona fisik, jiwa, akal dan ruh, diperlukan untuk menciptakan daya tarik dan daya rekat yang permanen bila kita ingin membangun sebuah hubungan jangka panjang.

Tapi seperti berlian, tidak semua orang mengenalnya dengan baik, maka mereka tidak menghargainya. Atau mungkin mereka mengenalnya, tapi terasa tertalu jauh untuk dijangkau, seperti mimpi memetik bintang atau mtmpi memeluk gunung. Atau mungkin ia mengenalnya, tapi terasa terlalu mewah untuk sebuah kelas sosial, atau kurang serasi untuk sebuah suasana.


Kira-kira itulah yang membuat Aisyah-radhiyallahu ‘anha-sekali ini benar-benar gundah. Orang terbaik di muka bumi ketika itu, Amirul Mu’minin, Khalifah Kedua, Umar Bin Khattab, hendak melamar adiknya, Ummu Kaltsum. Tidak ada alasan untuk menolak lamaran beliau kecuali bahwa Abu Bakar, sang Ayah, yang juga Khalifah Pertama, telah mendidik puteri-puterinya dengan penuh kasih sayang dan kemanjaan.

Aisyah, karena itu, percaya bahwa adiknya tidak akan kuat beradaptasi dengan pembawaan Umar yang kuat dan kasar. Bahkan ketika Abu Bakar meminta pendapat Abdurrahman Bin Auf tentang kemungkinan penunjukan Umar bin Khattab sebagai khalifah, beliau menjawab: “Dia yang paling layak, kecuali bahwa dia kasar”.

Dengan sedikit bersiasat, Aisyah meminta bantuan Amru Bin ‘Ash untuk “menggiring” Umar agar menikahi Ummu Kaltsum yang lain, yaitu Ummu Kaltsum Binti Ali Bin Abi Thalib yang ketika itu berumur 11 tahun.

Karena garis jiwa, akal dan ruh mereka lebih setara dan karena itu mereka akan tampak lebih serasi karena bisa serasa. Berbekal pengalaman sebagai diplomat ulung, pesan Itu memang sampai kepada Umar Akhirnya Umar menikahi Ummu Kaltsum Bin Ali Bin Abi Thalib.

Kesetaraan dan keserasian. Itu yang lebih menentukan daripada sekedar pesona an sich. Ibnu Hazem menjelaskan, kalau ada lelaki tampan menikahi perempuan jelek, atau sebaliknya, itu bukan sebuah keajaiban. Yang ajaib adalah kalau seorang lelaki meninggalkan kekasih yang cantik dan memilih kekasih baru yang jelek.

“Saya tidak bisa memahaminya. Tapi memang tidak harus dijelaskan”.

Ibnu Hazem, imam terbesar pada mazhab Zhahiryah, yang menulis puluhan buku legendaris dalam fiqh, hadits, sejarah, sastra, puisi dan lainnya, lelaki tampan yang lembut dan seorang pencinta sejati, putera seorang menteri di Cordova, suatu ketika harus menelan luka: cintanya ditolak oleh seorang perempuan yang justru bekerja di rumahnya.

Ibnu Hazem bahkan mengejar-ngejarnya dan melakukan semua yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan cintanya. Tapi tetap saja ditolak.

“Saya teringat, kadang-kadang saya masuk melalui pintu rumahku di mana gadis itu ada di sana, untuk berdekat-dekat dengannya. Tapi begitu ia tahu aku mendekat ia segera menjauh dengan sopan dan tenang. Jika ia memilih pintu lain, maka aku akan ke sana juga tapi dia akan pindah lagi ke tempat lain. Dia tahu aku sangat mencintainya walaupun perempuan-perempuan tidak tahu hal itu karena jumlah mereka yang sangat banyak di istanaku.”

Begitulah leiaki yang memiliki semua pesona itu ditolak. Bahkan ketika suatu saat Ibnu Hazem menyaksikan gadis itu menyanyi di istananya, Ibnu Hazem benar-benar terpesona dan makin mencintainya. Tapi ia hanya berkata dengan lirih, “Oh, nyanyian itu seakan turun ke hatiku, dan hari itu tidak akan pernah kulupakan sampai hari ketika berpisah dengan dunia”.

Oh, lelaki baik yang terluka oleh hukum keserasaan dan keserasian.

Pesona Ketiga

Oleh Anis Matta

Di hadapannya, istrinya terduduk. Diam. Hening. Hanya tatapan mata yang saling bicara. Tekad memancar tegas setegas pekat hitam kedua bola matanya.

“Kini tiba giliranmu, istriku,” Umar bin Abdul Aziz membuka pembicaraan. “Perbaikan dan reformasi dinasti Bani Umayyah sudah kumulai dari diriku sendiri. Selanjutnya adalah giliranmu. Kemudian anak-anak. Kemudian keluarga besar istana. Sekarang kembalikan seluruh harta dan perhiasanmu ke kas negara.”

Istrinya langsung angkat kepala. “Tidak, Umar! Ini semua adalah pemberian ayahku, Abdul Malik Bin Marwan.”

Umar terdiam, sejenak. Lalu menjawab, “Tapi uang untuk membeli itu semua berasal dari kas negara, Fatimah!”

Dialog itu terus berlangsung, mendatar dan meninggi, antara setuju dan tidak setuju.

Beberapa saat Umar tertunduk. Terpekur. Tantangan itu ternyata ada di hadapannya kini. Dari orang terdekat dan paling ia cintai. Bisakah ia melanjutkan perjuangannya kalau hambatannya justru datang dari cinta?

Tidak! Tidak boleh! Ia harus terus melangkah maju di jalan terjal perbaikan pemerintahan.

Tiba-tiba Umar bangkit dan berkata, “Fatimah, sekarang aku sudah bertekad untuk tidak mundur. Dan kamu punya dua pilihan: kembalikan seluruh harta itu, atau jika tidak, hubungan kita berakhir di sini.”

Fatimah terhenyak. Kesadarannya seperti ditampar tangan kebenaran. Hanya sesaat kemudian Fatimah mendengarkan panggilan nuraninya. la memilih untuk terus bersama Umar.

Pada suatu masa dalam hidup kita, fisik kita berhenti menuntut hak-haknya, akal kita berhenti meminta penjelasan-penjelasan. Karena ada kebutuhan baru yang muncul begitu kita makin menua: kebutuhan akan transendensi spiritual karena tuntutan “tanah” tak lagi punya gravitasi yang kuat dalam tubuh kita.

Saat itu kesadaran akan fisik lenyap dan kehebatan akal menjadi terlalu sederhana untuk menjelaskan temuan-temuan ruh dalam kehidupan. Saat itu mata ruh kita mulai menembus tembok-tembok ruang dan waktu, melewati kesementaraan pada panggilan raga dan jiwa, dan memasuki gerbang keabadian ruh yang telah terbebaskan. Karena itu godaan raga dan jiwa pada Umar lenyap ketika ia harus memilih jalan ruhnya: tapi justru disitulah pesona keabadiannya menampakkan diri, dan seperti angin sepo iyang masuk lewat jendela bersama cahaya matahari, kebenaran itu merengkuh seluruh dirinya. Ada keagungan transendensi yang datang bersama kebenaran cinta. Itu mencerahkan. Itu menghidupkan.

Dalam transendensi itu tidak ada cantik atau jelek. Tidak ada seksi atau tidak seksi. Yang ada hanya kebenaran dan keabadian. Itu yang memberinya aura keagungan.

Setiap kali kamu melihat mereka yang memiliki pesona itu ingatanmu langsung kembali ke masa depan, melampaui semua yang kini dan di sini, masa di mana waktu tak lagi punya ujung. Maka pesona mereka membebaskanmu seperti buraq membawa Muhammad melewati atmosfir bumi dan menembus langit demi langit menuju singgasana Zat Yang Abadi. Dan begitu jugalah Muhammad saw mengakhiri konflik dengan istri-istrinya sembari mengatakan, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.”

Pesona Kematangan

Oleh Anis Matta

Chemistry yang biasanya mempengaruhi hubungan cinta antara laki-laki dan wanita sebenarnya hanya menegaskan satu fakta: ketika cinta yang genuine bertemu dengan motif lain dalam diri manusia, dalam hal ini hasrat atau syahwat biologis, hubungan cinta antara laki-laki dan wanita memasuki wilayah yang sangat rumit dan kompleks. Banyak fakta yang tidak bisa dipahami dalam perspektif norma cinta yang lazim. Lebih banyak lagi kejutan yang lahir di ruang ketidakterdugaan.

Namun itu tidak menghalangi kita menemukan fakta yang lebih besar: bahwa dengan memandang itu sebagai pengecualian-pengecualian, seperti dalam kasus Muawiyah Bin Abi Sufyan dengan gadis badui yang tidak dapat mencintainya, kekuatan cinta sesungguhnya dan selalu mengejewantah pada kematangan kepribadian kita. Misalnya cinta antara Utsman Bin Affan dan istrinya, Naila.

Para pecinta sejati tidak memancarkan pesonanya dari ketampanan atau kecantikannya, atau kekuasaan dan kekayaannya, atau popularitas dan pengaruhnya. Pesona mereka memancar dari kematangan mereka. Mereka mencintai maka mereka memberi. Mereka kuat. Tapi kekuatan mereka menjadi sumber keteduhan jiwa orang-orang yang dicintainya. Mereka berisi, dan sangat independen. Tapi mereka tetap merasa membutuhkan orang lain, dan percaya bahwa hanya melalui mereka ia bisa bertumbuh dan bahwa pada orang-orang itulah pemberian mereka menemukan konteksnya. Kebutuhan mereka pada orang lain bukan sebentuk ketergantungan. Tapi lahir dari kesadaran mendalam tentang keterbatasan manusia dan keniscayaan interdepensi manusia.

Pesona inilah yang dipancarkan Khadijah pada Muhammad. Maka selisih umur tidak sanggup menghalangi pesona Khadijah menembus jiwa Muhammad. Pesona kematangan itu pula yang membuat beliau enggan menikah lagi bahkan setelah Khadijah wafat. “Siapa lagi yang bisa menggantikan Khadijah?” tanya Rasulullah saw. Tapi bisakah kita membayangkan pertemuan dua pesona? Pesona kematangan dan pesona kecantikan serta kecerdasan?

Pesona itulah yang dimiliki Aisyah: muda, cantik, innocent, cerdas dan matang dini. Dahsyat, pasti! Pesonanya pesona. Dalam chemistry ini tidak ada pengecualian Muawiyah. Di sini semua pesona menyatu padu: seperti goresan pelangi di langit kehidupan pelangi Sang Nabi. Dua perempuan terhormat dari suku Quraisy itu mengisi kehidupan pribadi Sang Nabi pada dua babak yang berbeda. Khadijah hadir pada periode paling sulit di Mekkah. Aisyah hadir pada periode pertumbuhan yang rumit di Madinah. Khadijah mengawali kehidupan kenabiannya. Tapi di pangkuan Aisyahlah, ia menghembuskan nafas terakhirnya setelah menyelesaikan misi kenabiannya.

Dalam jiwa Sang Nabi, ada dua cinta yang berbeda pada kedua perempuan terhormat itu. Ketika beliau ditanya orang yang paling ia cintai, ia menjawab: Aisyah! Tapi ketika beliau ditanya tentang cintanya pada khadijah, ia menjawab: “cinta itu dikaruniakan Allah padaku.” Cintanya pada Aisyah adalah bauran pesona kematangan dan kecantikan yang melahirkan syahwat. Maka Ummu Salamah berkata, “Rasulullah saw tidak bisa ‘menahan’ diri kalau bertemu Aisyah.” Tapi cintanya pada Khadijah adalah jawaban jiwa atas pesona kematangan Khadijah: cinta itu dikirim Allah melalui kematangan Khadijah.

Kamis, 04 Februari 2010




Pernahkah anda mengalami ?

Terjebak Rutinitas yang menyebabkan kejenuhan dalam kehidupan rumah tangga anda?
Kebuntuan dalam berkomunikasi dengan pasangan hidup anda ?
Merasa tidak bahagia menjalani kehidupan berumah tangga anda ?
pasangan anda tidak memahami anda seutuhnya ?

SMART LOVE.. adalah program untuk suami isteri yang ingin menghadirkan suasana "SURGA" dalam rumahnya, sehingga menjadi tempat yang nyaman, harmonis dan penuh cinta. program ini dapat di aplikasikan langsung dalam kelurga. sehingga anda bersama pasangan selalu menemukan alasan-alasan untuk selalu mencintai pasangan anda, memiliki kemampuan komunikasi dan interaksi yg menyenangkan bersama pasangan serta memiliki kemampuan mengelola masalah dengan baik dan benar.

ikuti langkah ribuan pasangan yang telah mendapatkan manfaat luar biasa dari pembelajaran SMART LOVE

Event terdekat akan dilaksanakan pada :
Hari minggu / 14 februari 2010
Di Gedung Sentral 7 Lt. 1 Daarut-Tauhiid
Jl. Gegerkalong Girang Bandung

Fasilitator : Ustadzah. Hj. Mimin Aminah ( konsultan parenting keluarga )

Investasi Rp. 750.000/pasang
pendaftaran via
Marketing Muslim Indonesia
sms ke 081221608482 Telp. 02276561969
E-mail : marketingmuslim@gmail.com
blog : marketingmuslim.blogspot.com


Selasa, 02 Februari 2010

Orang -orang Romantis

Karya Anis Matta

Qais sebenarnya tidak harus bunuh diri. Hidup tetap bisa dilanjutkan tanpa Layla. Tapi itulah masalahnya. Ia tidak sanggup. Ia menyerah. Hidup tidak lagi berarti baginya tanpa Layla.

Ia memang tidak minum racun. Atau gantung diri. Atau memutus urat nadinya. Tapi la membiarkan dirinya tenggelam dalam duka sampai nafas terakhir. Tidak bunuh diri. Tapi jalannya seperti itu.

Orang-orang romantis selalu begitu: rapuh. Bukan karena romantisme mengharuskan mereka rapuh. Tapi di dalam jiwa mereka ada bias besar.

Mereka punya jiwa yang halus. Tapi kehalusan itu berbaur dengan kelemahan. Dan itu bukan kombinasi yang bagus. Sebab batasnya jadi kabur: kehailusan dan kelemahan jadi tampak sama.

Qais lelaki yang halus. Sekaligus lemah.

Kombinasi begini membuat banyak orang-orang romantis jadi sangat rapuh. Apalagi saat-saat menghadapi badai kehidupan. Misalnya ketika mereka harus berpisah untuk sebuah pertempuran.


Maka cinta dan perang selalu hadir sebagai momen paling melankolik bagi orang-orang romantis Mengerikan. Tapi tak terhindarkan. Berdarah-darah. Tapi tak terelakkan. Itu dunia orang-orang jahat. Dan orang-orang romantis hanya datang ke sana sebagai korban.

Begitu ruang kehidupan direduksi hanya ke dalam kehidupan mereka berdua dunia tampak sangat buruk dengan perang. Tapi kehidupan punya jalannya sendiri. Ada kaidah yang mengaturnya. Dan perang adalah niscaya dalam aturan itu.

Maka terbentanglah medan konflik yang rumit dalam batin mereka. Dan orang-orang romantis yang rapuh itu seialu kalah. Itu sebabnya Allah mengancam orang-orang beriman: kalau mereka mencintai istri-istri mereka lebih dari cinta mereka pada jihad, maka Allah pasti punya urusan dengan mereka.

Tapi inilah persoalan inti dalam ruang cinta jiwa. Jika cinta jiwa ini berdiri sendiri, dilepas sama sekali dari misi yang lebih besar, maka jalannya memang biasanya ke sana: romantisme biasanya mengharuskan mereka mereduksi kehidupan hanya ke dalam ruang kehidupan mereka berdua saja, karena di sana dunia seluruhnya hanya damai, di sana mereka bisa menyembunyikan kerapuhan atas nama kehalusan dan kelembutan jiwa.

Itu sebabnya cinta jiwa selalu membutuhkan pelurusan dan pemaknaan dengan menyatukannya bersama cinta misi. Dari situ cinta jiwa menemukan keterarahan dan juga sumber energi. Dan hanya itu yang memungkinkan romantisme dikombinasi dengan kekuatan jiwa. Maka orang-orang romantis itu tetap dalam kehalusan

Membangun Kemampuan Mencintai

Karya Anis Matta

Pada mulanya cinta adalah gagasan tentang bagaimana membahagiakan dan menumbuhkan orang lain. Selanjutnya adalah kemauan baik yang menjembatani gagasan itu menuju alam kenyataan. Sisanya adalah kemampuan. Cinta yang hanya berkembang di batas gagasan dan kemauan baik akan tampak seperti pohon rindang yang tidak berbuah.

Bagian cinta yang pertama dan kedua, gagasan dan kemauan baik, biasanya terbentuk dari serangkaian penghayatan akan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan keagamaan tentang kehidupan dan hubungan antar manusia di dalamnya, hubungan manusia dengan Tuhan, dan hubungan manusia dengan alam. Sedalam apa itu penghayatan dalam diri seorang pencinta, sedalam itu pula sumber energi yang ada di dalam dirinya.

Tapi bagian ketiga dari cinta, kemampuan, memerlukan latihan dan proses pembelajaran. Kalau kita mau memberi, kita harus belajar dan berlatih bagaimana memiliki. Kalau kita mau memperhatikan orang yang kita cintai, kita harus belajar dan berlatih untuk tidak membutuhkan perhatian orang lain. Kalau kita mau menumbuhkan sang kekasih, kita harus belajar dan berlatih bagaimana bertumbuh sendiri terlebih dahulu. Begitu seterusnya: memberi, memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi mengharuskan kita memiliki kemampuan pribadi untuk melakukan tindakan-tindakan produktif.

Membangun kemampuan mencintai berarti membangun kemampuan produktif dalam diri kita. Menjadi seorang pecinta sejati berarti menjadi seorang produktif yang selalu berorientasi bukan saja pada proses, tapi juga terutama hasil akhir. Produktivitas adalah indikator kematangan seorang pecinta. Seorang pecinta yang tidak produktif adalah pohon rindang yang tidak berbuah.

Ini sisi cinta yang paling rasional dan paling berat: belajar dan berlatih untuk menjadi produktif. Ini bukan pelajaran tentang bagaimana menguntai kata-kata cinta. Atau tentang teknik-teknik merawat cinta kasih. Ini pelajaran tentang bagaimana kita mengembangkan diri, mengubah semua potensi dalam diri kita menjadi kemampuan-kemampuan baru itu menjadi produktivitas.

Mencintai dengan semua siklusnya adalah kerja dari dalam ke luar. Seorang pencinta sejati adalah seseorang yang mampu keluar dari dirinya sendiri menuju orang lain. Tapi sejauh seseorang sebelum mampu keluar dari dirinya sendiri, ia harus masuk ke dalam dirinya sendiri. Sedalam mungkin. Karena dari kedalaman itulah, ia bisa keluar sejauh mungkin.

Pelajaran cinta adalah pelajaran tentang bagaimana kita masuk kedalam diri sendiri untuk kemudian keluar dengan cara yang lain. Ini latihan untuk menjadi lebih baik. Dan akhirnya, ini adalah pelajaran tentang bagaimana mengubab kehidupan kita menjadi taman yang lebih indah dipandang dan lebih nyaman dihuni. Karena di sana kita bertumbuh. Karena dalam pertumbuhan itu kita berbahagia.

Belajar Mencintai




Karya : Anis Matta

Jika cinta, pada semua jenisnya, adalah kesadaran, adalah perasaan, adalah tindakan, maka cinta pada akhirnya adalah kemampuan yang terintegrasi dalam seluruh aspek kepribadian kita.

Kemampuan seseorang untuk mencintai adalah gambaran paling utuh dari seluruh kapasitas kepribadiannya. Hanya orang-orang dengan kepribadian kuat dan kapasitas besar yang mampu mencintai. Orang-orang lemah, yang setiap saat bisa kita saksikan di sekitar kita, tidak akan pernah mencintai. Bahkan untuk mencintai diri mereka sekalipun. Takdir mereka adalah menantikan cinta dan kasih sayang orang-orang kuat.

Orang-orang kuat mencintai dengan segenap kesadarannya. Maka mereka terus-menerus memproduksi kebajikan demi kebajikan. Sementara orang-orang lemah bahkan tidak memiliki kesadaran untuk mencintai. Maka mereka terus-menerus mengkonsumsi kebajikan orang-orang kuat. Itu sebabnya orang-orang kuat dalam masyarakat selalu merupakan faktor kohesi yang merekatkan masyarakat.

Mereka merekatkan masyarakat dengan cinta dan kebajikan mereka. Makna inilah yang ditebarkan oleh Rasulullah saw begitu beliau tiba di Madinah dan memulai kerja membangun negara baru itu: “Wahai sekalian manusia, tebarkan salam, berikan makan, bangun sholat malam saat orang-orang tertidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan penuh damai”.

Ini merupakan penjelasan bagi keterangan selanjutnya. Bahwa untuk bisa mencintai, bahwa untuk menjadi pencinta sejati, kita harus mengembangkan kapasitas dan kepribadian kita. Cinta adalah pelajaran tentang bagaimana mengubah kepribadian kita untuk menjadi lebih baik secara berkesinambungan, pelajaran tentang bagaimana menjadi manusia yang produktif untuk bisa memberi, pelajaran tentang bagaimana menjadi orang kuat yang penyayang, pelajaran tentang bagaimana melimpahruahkan kebajikan abadi bagi penumbuhan kehidupan orang-orang di sekitar kita yang kadang berujung tanpa sedikitpun rasa terima kasih, atau bahkan penolakan.

Ini bukan pelajaran tentang teknik atau keterampilan mencintai seperti ketika belajar tentang tehnik berkomunikasi dengan orang lain, atau bagaimana merebut hati seseorang untuk suatu hubungan cinta asmara. Bukan. Sama sekali bukan tentang itu.

Doa Cinta Sang Imam

Oleh : Anis Matta

“Ya Allah Engkau tahu
Hati-hati ini telah
Berkumpul daiam cintaMu
Bertemu dalam taatMu
Menyatu menolong dakwahMu
Berjanji perjuangkan syariatMu
Maka eratkan ikatannya
Dan abadikan cintanya”

Tidak ada penjelasan historis tentang suasana yang melatari Imam Syahid Hasan Al Banna saat menulis potongan doa itu. Ia menyebutnya Wirid Pengikat. Pengikat hati. Hati yang sedang dibangunkan untuk memikul beban kebangkitan umat. Beban mereka berat. Jumlah mereka sedikit. Musuh mereka banyak. Jadi mereka butuh landasan yang kokoh dan pengikat yang kuat. Landasannya adalah iman. Pengikatnya adalah cinta.

Cinta menjalin jiwa-jiwa mereka dalam kelembutan yang menyamankan: maka setiap mereka adalah permadani sutera yang empuk, setiap orang dengan segala tipenya bisa duduk santai di situ. Cinta mereka selalu mampu menampung semua bentuk perbedaan: ada kebebasan berpendapat tapi tidak ada sikap yang melukai, ada keterbukaan tapi objektivitas tetap di atas segalanya. Cinta melahirkan pertanggungjawaban: setiap mereka selalu bertanya tentang sejauh mana mereka mampu mempertanggungjawabkan sikap mereka di depan Allah?

Tapi cinta juga melahirkan kelembutan: maka perbedaan-perbedaan mereka terkelola dalam etika yang menyamankan jiwa. Karena setiap pembicaraan mereka selalu berujung amal. Beban dan perbedaan di antara mereka tidak akan mengubah situasi mereka. Seperti kata Iqbal, “sebagai sapu lidi yang dlikat cinta untuk membersihkan kehidupan.”

Tapi cinta juga memberi mereka energi. Para pemikul beban kebangkitan itu pastilah akan menempuh jalan perjuangan penuh liku dan pendakian. Pada setiap satu jarak waktu dan tempat beban mereka bertambah. Mereka pasti mengalami penuaan dini, seperti kata Rasulullah saw: “Surat Hud dan saudara-saudaranya telah mengubankan rambutku.”

Kalau bukan dengan energi yang dahsyat, siapakah yang sanggup mendaki gunung sembari memikul beban? Dan cintalah sumbernya.

Energi cinta memicu mereka untuk bergerak dan bertumbuh dalam tempo yang cepat. Tapi ikatan cinta mengatur irama mereka dalam keserasian yang indah. Itu sebabnya mereka kuat. Nyaman. Dan abadi. Jadi, biarkan Sang Imam menggumamkan kembali doa cintanya:

“Maka eratkan ikatannya
Dan abadikan cintanya.”