Selasa, 16 Februari 2010

Serasa dan Serasi

Oleh Anis Matta

Tdak karena kamu memiliki semua pesona itu sekaligus, maka kamu bisa mencintai dan mengawini semua perempuan. Begitu juga sebaliknya.

Pesona fisik, jiwa, akal dan ruh, diperlukan untuk menciptakan daya tarik dan daya rekat yang permanen bila kita ingin membangun sebuah hubungan jangka panjang.

Tapi seperti berlian, tidak semua orang mengenalnya dengan baik, maka mereka tidak menghargainya. Atau mungkin mereka mengenalnya, tapi terasa tertalu jauh untuk dijangkau, seperti mimpi memetik bintang atau mtmpi memeluk gunung. Atau mungkin ia mengenalnya, tapi terasa terlalu mewah untuk sebuah kelas sosial, atau kurang serasi untuk sebuah suasana.


Kira-kira itulah yang membuat Aisyah-radhiyallahu ‘anha-sekali ini benar-benar gundah. Orang terbaik di muka bumi ketika itu, Amirul Mu’minin, Khalifah Kedua, Umar Bin Khattab, hendak melamar adiknya, Ummu Kaltsum. Tidak ada alasan untuk menolak lamaran beliau kecuali bahwa Abu Bakar, sang Ayah, yang juga Khalifah Pertama, telah mendidik puteri-puterinya dengan penuh kasih sayang dan kemanjaan.

Aisyah, karena itu, percaya bahwa adiknya tidak akan kuat beradaptasi dengan pembawaan Umar yang kuat dan kasar. Bahkan ketika Abu Bakar meminta pendapat Abdurrahman Bin Auf tentang kemungkinan penunjukan Umar bin Khattab sebagai khalifah, beliau menjawab: “Dia yang paling layak, kecuali bahwa dia kasar”.

Dengan sedikit bersiasat, Aisyah meminta bantuan Amru Bin ‘Ash untuk “menggiring” Umar agar menikahi Ummu Kaltsum yang lain, yaitu Ummu Kaltsum Binti Ali Bin Abi Thalib yang ketika itu berumur 11 tahun.

Karena garis jiwa, akal dan ruh mereka lebih setara dan karena itu mereka akan tampak lebih serasi karena bisa serasa. Berbekal pengalaman sebagai diplomat ulung, pesan Itu memang sampai kepada Umar Akhirnya Umar menikahi Ummu Kaltsum Bin Ali Bin Abi Thalib.

Kesetaraan dan keserasian. Itu yang lebih menentukan daripada sekedar pesona an sich. Ibnu Hazem menjelaskan, kalau ada lelaki tampan menikahi perempuan jelek, atau sebaliknya, itu bukan sebuah keajaiban. Yang ajaib adalah kalau seorang lelaki meninggalkan kekasih yang cantik dan memilih kekasih baru yang jelek.

“Saya tidak bisa memahaminya. Tapi memang tidak harus dijelaskan”.

Ibnu Hazem, imam terbesar pada mazhab Zhahiryah, yang menulis puluhan buku legendaris dalam fiqh, hadits, sejarah, sastra, puisi dan lainnya, lelaki tampan yang lembut dan seorang pencinta sejati, putera seorang menteri di Cordova, suatu ketika harus menelan luka: cintanya ditolak oleh seorang perempuan yang justru bekerja di rumahnya.

Ibnu Hazem bahkan mengejar-ngejarnya dan melakukan semua yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan cintanya. Tapi tetap saja ditolak.

“Saya teringat, kadang-kadang saya masuk melalui pintu rumahku di mana gadis itu ada di sana, untuk berdekat-dekat dengannya. Tapi begitu ia tahu aku mendekat ia segera menjauh dengan sopan dan tenang. Jika ia memilih pintu lain, maka aku akan ke sana juga tapi dia akan pindah lagi ke tempat lain. Dia tahu aku sangat mencintainya walaupun perempuan-perempuan tidak tahu hal itu karena jumlah mereka yang sangat banyak di istanaku.”

Begitulah leiaki yang memiliki semua pesona itu ditolak. Bahkan ketika suatu saat Ibnu Hazem menyaksikan gadis itu menyanyi di istananya, Ibnu Hazem benar-benar terpesona dan makin mencintainya. Tapi ia hanya berkata dengan lirih, “Oh, nyanyian itu seakan turun ke hatiku, dan hari itu tidak akan pernah kulupakan sampai hari ketika berpisah dengan dunia”.

Oh, lelaki baik yang terluka oleh hukum keserasaan dan keserasian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar